Jumat, 28 Juli 2017

CANDI SINGOSARI

 Hasil gambar untuk candi singosari


Candi Singhasari atau Candi Singasari atau Candi Singosari adalah candi Hindu - Buddha peninggalan bersejarah Kerajaan Singhasari yang berlokasi di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Indonesia tepat nya Jl. Kertanegara No.148, Candirenggo, Singosari, Malang, Jawa Timur 65153
Cara pembuatan candi Singhasari ini dengan sistem menumpuk batu andhesit hingga ketinggian tertentu selanjutnya diteruskan dengan mengukir dari atas baru turun ke bawah. (Bukan seperti membangun rumah seperti saat ini). Candi ini berlokasi di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, (sekitar 10km dari Kota Malang) terletak pada lembah di antara Pegunungan Tengger dan Gunung Arjuna di ketinggian 512 m di atas permukaan laut.

Menurut Negarakertagama

Berdasarkan penyebutannya pada Kitab Negarakertagama pupuh 37:7 dan 38:3 serta Prasasti Gajah Mada bertanggal 1351 M di halaman komplek candi, candi ini merupakan tempat "pendharmaan" bagi raja Singasari terakhir, Sang Kertanegara, yang mangkat pada tahun 1292 akibat istana diserang tentara Gelang-gelang yang dipimpin oleh Jayakatwang. Kuat dugaan, candi ini tidak pernah selesai dibangun.

Struktur dan kegunaan bangunan

Komplek percandian menempati areal 200 m × 400 m dan terdiri dari beberapa candi. Di sisi barat laut komplek terdapat sepasang arca raksasa besar (tinggi hampir 4m, disebut Dwarapala) dan posisi gada menghadap ke bawah, ini menunjukkan meskipun penjaganya raksasa tetapi masih ada rasa kasih sayang terhadap semua mahkluk hidup dan ungkapan selamat datang bagi semuanya. Dan posisi arca ini hanya ada di Singhasari, tidak ada di tempat ataupun kerajaan lainnya. Dan di dekatnya arca Dwarapala terdapat alun-alun. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa candi terletak di komplek pusat kerajaan. Letak candi Singhasari yang dekat dengan kedua arca Dwarapala menjadi menarik ketika dikaitkan dengan ajaran Siwa yang mengatakan bahwa dewa Siwa bersemayam di puncak Kailasa dalam wujud lingga, batas Timur terdapat gerbang dengan Ganesha (atau Ganapati) sebagai penjaganya, gerbang Barat dijaga oleh Kala dan Amungkala, gerbang Selatan dijaga oleh Resi Agastya, gerbang Utara dijaga oleh Batari Gori (atau GaurÄ«). Karena letak candi Singhasari yang sangat dekat dengan kedua arca tersebut yang terdapat pada jalan menuju ke Gunung Arjuna, penggunaan candi ini diperkirakan tidak terlepas dari keberadaan gunung Arjuna dan para pertapa yang bersemayam di puncak gunung ini pada waktu itu.
Bangunan candi utama dibuat dari batu andesit, menghadap ke barat, berdiri pada alas bujur sangkar berukuran 14 m × 14 m dan tinggi candi 15 m. Candi ini kaya akan ornamen ukiran, arca, dan relief. Di dalam ruang utama terdapat lingga dan yoni. Terdapat pula bilik-bilik lain: di utara (dulu berisi arca Durga yang sudah hilang), timur yang dulu berisi arca Ganesha, serta sisi selatan yang berisi arca Siwa-Guru (Resi Agastya). Di komplek candi ini juga berdiri arca Prajnaparamita, dewi kebijaksanaan, yang sekarang ditempatkan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta. Arca-arca lain berada di Institut Tropika Kerajaan, Leiden, Belanda, kecuali arca Agastya.

CANDI SONGGORITI

 Hasil gambar untuk candi songgoriti

Candi Supo atau yang lebih sering disebut Candi Songgoriti terletak berdekatan dengan Taman Rekreasi Tirta Nirwana, Songgoriti. Lebih tepatnya berada di dalam kompleks Pemandian Air Panas Alami (PAPA) dan Hotel Songgoriti. Namun keberadaan candi ini tidak banyak diketahui oleh para wisatawan dari luar Kota Batu sebab daya tarik utama di area ini adalah Taman Rekreasi Songgoriti dan bukan Candi Songgoriti.
Candi ini ditemukan kali pertama oleh seorang arkeolog Belanda bernama Van I Isseldijk tahun 1799 M, kemudian pelaksanaan renovasinya dilakukan oleh arkeolog Belanda lainnya yaitu Rigg tahun 1849 M dan Brumund pada tahun 1863 M. Tahun 1902 M, Knebel melakukan inventarisasi situs Candi Songgoriti dan dilanjutkan dengan renovasi besar-besaran tahun 1921 M. Renovasi terakhir dilaksanakan pada tahun 1938.

Suasana Lokasi Candi Songgoriti
Candi Supo adalah satu-satunya peninggalan Mpu Sindok di Kota Batu. Beliau adalah raja pertama kerajaan Medang periode Jawa Timur yang memerintah sekitar tahun 929-947. Menurut sejarahnya; kisah Candi Songgoriti ini berawal dari keinginan Mpu Sindok yang ingin membangun tempat peristirahatan bagi keluarga kerajaan di pegunungan yang didekatnya terdapat mata air. Seorang petinggi kerajaan bernama Mpu Supo diperintah Mpu Sindok untuk membangun tempat tersebut. Dengan upaya yang keras, akhirnya Mpu Supo menemukan suatu kawasan yang sekarang lebih dikenal sebagai kawasan Wisata Songgoriti. Atas persetujuan Raja, Mpu Supo mulai membangun kawasan Songgoriti sebagai tempat peristirahatan keluarga kerajaan berikut sebuah candi yang diberi nama Candi Supo. Di tempat peristirahatan tersebut terdapat sumber mata air yang mengalir dingin dan sejuk seperti semua mata air di wilayah pegunungan. Mata air dingin tersebut sering digunakan mencuci keris-keris bertuah sebagai benda pusaka dari kerajaan Sindok. Oleh karena sumber mata air ini sering digunakan untuk mencuci benda-benda kerajaan yang bertuah dan mempunyai kekuatan supranatural (magic) yang maha dahsyat, akhirnya sumber mata air yang semula terasa dingin dan sejuk berubah menjadi sumber air panas. Sumber air panas itupun sampai saat ini menjadi sumber abadi di kawasan Wisata Songgoriti.

Bagian-bagian Candi Songgoriti
Candi Songgoriti terbuat dari batu andesit dan pondasinya dari batu bata. Ukuran candi ini 14,50 meter x 10 meter dengan tinggi 2,5 meter, dibangun di atas sumber mata air panas. Hampir seluruh wujud asli dari candi ini sudah hancur. Hiasan patung-patung yang menghiasi badan candi pun sudah banyak yang tidak berbentuk sehingga sulit untuk diidentifikasi. Namun meski dalam kondisi seperti itu, bagaimanapun juga keberadaan candi tersebut sangatlah berarti sebagai bukti tuanya usia peradaban di Kota Batu.
Mitos Air Pasang Giri

Sumber Air Dingin <> Sumber Air Panas
Candi Songgoriti juga menyimpan sebuah keunikan yang mungkin tidak ditemukan di candi-candi lainnya yakni, sumber mata air dingin yang disebut air Pasang Giri. Sumber mata air dingin ini menyembul di tengah-tengah sumber mata air panas dengan ukuran kolam hanya 75 cm x 75 cm. Sangat sulit untuk dipahami bahwa bangunan candi yang dikelilingi sumber mata air panas, di tengah-tengahnya menyembul sumber mata air dingin. Letak mata air dingin persis di tengah-tengah bangunan candi bagian belakang. Namun tak banyak wisatawan yang mengetahui keunikan tersebut.
Makam Mpu Supo
Tak jauh dari bangunan Candi Songgoriti atau tepatnya sekitar 100 meter seberang jalan kanan Hotel Songgoriti, berdiri bangunan rumah berornamen lawas dengan cat putih kombinasi kuning biru. Tak banyak juga wisatawan tahu, kalau di dalam bangunan rumah yang dibangun tahun 1962 itu, bersemayam ‘arwah’ moksa Mpu Supo atau juga dikenal sebagai Mbah Pathok. Sampai sekarang rumah ini dikenal sebagai Pesarean Mbah Pathok atau Mpu Supo.

CANDI KIDAL



Candi Kidal di Tumpang, Malang, Jawa Timur
Candi Kidal adalah salah satu candi warisan dari kerajaan Singasari. Candi ini dibangun sebagai bentuk penghormatan atas jasa besar Anusapati, Raja kedua dari Singhasari, yang memerintah selama 20 tahun (1227 - 1248). Kematian Anusapati dibunuh oleh Panji Tohjaya sebagai bagian dari perebutan kekuasaan Singhasari, juga diyakini sebagai bagian dari kutukan Mpu Gandring.
Candi Kidal secara arsitektur, kental dengan budaya Jawa Timuran, telah mengalami pemugaran pada tahun 1990. Candi kidal juga memuat cerita Garudeya, cerita mitologi Hindu, yang berisi pesan moral pembebasan dari perbudakan. Sampai sekarang candi masih terjaga dan terawat.

Anusapati - Sang Garuda Yang Berbakti

Penggalan pupuh dalam kitab Negarakretagama, sebuah kakawin kaya raya informasi tentang kerajaan Majapahit dan Singosari, menceritakan hal yang berkaitan dengan raja Singosari ke-2, Anusapati, beserta tempat pendharmaannya di candi Kidal.
Bathara Anusapati menjadi raja
Selama pemerintahannya tanah Jawa kokoh sentosa
Tahun caka Persian Gunung Sambu (1170 C - 1248 M) dia berpulang ke Siwabudaloka
Cahaya dia diujudkan arca Siwa gemilang di candi Kidal
(Nagarakretagama : pupuh 41 / bait 1, Slamet Mulyono)

Lokasi

Terletak di desa Rejokidal, kecamatan Tumpang, sekitar 20 km sebelah timur kota Malang - Jawa Timur, candi Kidal dibangun pada 1248 M, bertepatan dengan berakhirnya rangkaian upacara pemakaman yang disebut Cradha (tahun ke-12) untuk menghormat raja Anusapati yang telah meninggal. Setelah selesai pemugaran kembali pada dekade 1990-an, candi ini sekarang berdiri dengan tegak dan kokoh serta menampakkan keindahannya. Jalan menuju ke Candi Kidal sudah bagus setelah beberapa tahun rusak berat. Di sekitar candi banyak terdapat pohon-pohon besar dan rindang, taman candi juga tertata dengan baik, ditambah lingkungan yang bernuansa pedesaan menambah suasana asri bila berkunjung kesana.
Dari daftar buku pengunjung yang ada nampak bahwa Candi Kidal tidak sepopuler “teman”-nya candi Singosari, Jago, atau Jawi. Ini diduga karena Candi Kidal terletak jauh di pedesaan, tidak banyak diulas oleh pakar sejarah, dan jarang ditulis pada buku-buku panduan pariwisata.

Keistimewaan Candi Kidal


Kepala Batara Kala di atas gerbang masuk Candi Kidal.
Namun candi Kidal sesungguhnya memiliki beberapa kelebihan menarik dibanding dengan candi-candi lainnya tersebut. Candi Kidal terbuat dari batu andesit dan berdimensi geometris vertikal. Kaki candi nampak agak tinggi dengan tangga masuk keatas kecil-kecil seolah-olah bukan tangga masuk sesungguhnya. Badan candi lebih kecil dibandingkan luas kaki serta atap candi sehingga memberi kesan ramping. Pada kaki dan tubuh candi terdapat hiasan medallion serta sabuk melingkar menghiasi badan candi. Atap candi terdiri atas 3 tingkat yang semakin keatas semakin kecil dengan bagian paling atas mempunyai permukaan cukup luas tanpa hiasan atap seperti ratna (ciri khas candi Hindu) atau stupa (ciri khas candi Budha). Masing-masing tingkat disisakan ruang agak luas dan diberi hiasan. Konon tiap pojok tingkatan atap tersebut dulu disungging dengan berlian kecil.
Hal menonjol lainnya adalah kepala kala yang dipahatkan di atas pintu masuk dan bilik-bilik candi. Kala, salah satu aspek Dewa Siwa dan umumnya dikenal sebagai penjaga bangunan suci. Hiasan kepala kala Candi Kidal nampak menyeramkan dengan matanya melotot, mulutnya terbuka dan nampak dua taringnya yang besar dan bengkok memberi kesan dominan. Adanya taring tersebut juga merupakan ciri khas candi corak Jawa Timuran. Di sudut kiri dan kanannya terdapat jari tangan dengan mudra (sikap) mengancam. Maka sempurnalah tugasnya sebagai penjaga bangunan suci candi.

Pemugaran

Di sekeliling candi terdapat sisa-sisa pondasi dari sebuah tembok keliling yang berhasil digali kembali sebagai hasil pemugaran tahun 1990-an. Terdapat tangga masuk menuju kompleks candi disebelah barat melalui tembok tersebut namun sulit dipastikan apakah memang demikian aslinya. Jika dilihat dari perspektif tanah sekeliling dengan dataran kompleks candi, nampak candi kompleks Kidal agak menjorok kedalam sekitar 1 meter dari permukaan sekarang ini. Apakah dataran candi merupakan permukaan tanah sesungguhnya akibat dari bencana alam seperti banjir atau gunung meletus tidak dapat diketahui dengan pasti.
Dirunut dari usianya, Candi Kidal merupakan candi tertua dari peninggalan candi-candi periode Jawa Timur pasca Jawa Tengah (abad ke-5 – 10 M). Hal ini karena periode Mpu Sindok (abad X M), Airlangga (abad XI M) dan Kediri (abad XII M) sebelumnya tidak meninggalkan sebuah candi, kecuali Candi Belahan (Gempol) dan Jolotundo (Trawas) yang sesungguhnya bukan merupakan candi melainkan petirtaan. Sesungguhnya ada candi yang lebih tua yakni Candi Kagenengan yang menurut versi kitab Nagarakretagama tempat di-dharma-kannya, Ken Arok, ayah tiri Anusapati. Namun sayang candi ini sampai sekarang belum pernah ditemukan.

Relief Garuda


Relief I: Garuda melayani para ular

Relief II: Garuda mengambil tirta amerta

Relief III: Garuda menyelamatkan ibunya
Pada bagian kaki candi terpahatkan 3 buah relief indah yang menggambarkan cerita legenda Garudeya (Garuda). Cerita ini sangat popular dikalangan masyarakat Jawa saat itu sebagai cerita moral tentang pembebasan atau ruwatan Kesusastraan Jawa kuno berbentuk kakawin tersebut, mengisahkan tentang perjalanan Garuda dalam membebaskan ibunya dari perbudakan dengan penebusan air suci amerta.
Cerita ini juga ada pada candi Jawa Timur yang lain yakni di candi Sukuh (lereng utara G. Lawu). Cerita Garuda sangat dikenal masyarakat pada waktu berkembang pesat agama Hindu aliran Waisnawa (Wisnu) terutama pada periode kerajaan Kahuripan dan Kediri. Sampai-sampai Airlangga, raja Kahuripan, setelah meninggal diujudkan sebagai dewa Wisnu pada candi Belahan dan Jolotundo, dan patung Wisnu di atas Garuda paling indah sekarang masih tersimpan di museum Trowulan dan diduga berasal dari candi Belahan.
Narasi cerita Garudeya pada candi Kidal dipahatkan dalam 3 relief dan masing-masing terletak pada bagian tengah sisi-sisi kaki candi kecuali pintu masuk. Pembacaannya dengan cara prasawiya (berjalan berlawanan arah jarum jam) dimulai dari sisi sebelah selatan atau sisi sebelah kanan tangga masuk candi. Relief pertama menggambarkan Garuda dibawah 3 ekor ular, relief kedua melukiskan Garuda dengan kendi di atas kepalanya, dan relief ketiga Garuda menggendong seorang wanita. Di antara ketiga relief tersebut, relief kedua adalah yang paling indah dan masih utuh.
Dikisahkan bahwa Kadru dan Winata adalah 2 bersaudara istri resi Kasiapa. Kadru mempunyai anak angkat 3 ekor ular dan Winata memiliki anak angkat Garuda. Kadru yang pemalas merasa bosan dan lelah harus mengurusi 3 anak angkatnya yang nakal-nakal karena sering menghilang di antara semak-semak. Timbullah niat jahat Kadru untuk menyerahkan tugas ini kepada Winata. Diajaklah Winata bertaruh pada ekor kuda putih Uraiswara yang sering melewati rumah mereka dan yang kalah harus menurut segala perintah pemenang. Dengan tipu daya, akhirnya Kadru berhasil menjadi pemenang. Sejak saat itu Winata diperintahkan melayani segala keperluan Kadru serta mengasuh ketiga ular anaknya setiap hari. Winata selanjutnya meminta pertolongan Garuda untuk membantu tugas-tugas tersebut. (relief pertama).
Ketika Garuda tumbuh besar, dia bertanya kepada ibunya mengapa dia dan ibunya harus menjaga 3 saudara angkatnya sedangkan bibinya tidak. Setelah diceritakan tentang pertaruhan kuda Uraiswara, maka Garuda mengerti. Suatu hari ditanyakanlah kepada 3 ekor ular tersebut bagaimana caranya supaya ibunya dapat terbebas dari perbudakan ini. Dijawab oleh ular "bawakanlah aku air suci amerta yang disimpan di kahyangan serta dijaga para dewa, dan berasal dari lautan susu". Garuda menyanggupi dan segera mohon izin ibunya untuk berangkat ke kahyangan. Tentu saja para dewa tidak menyetujui keinginan Garuda sehingga terjadilah perkelahian. Namun berkat kesaktian Garuda para dewa dapat dikalahkan. Melihat kekacauan ini Bathara Wisnu turun tangan dan Garuda akhirnya dapat dikalahkan. Setelah mendengar cerita Garuda tentang tujuannya mendapatkan amerta, maka Wisnu memperbolehkan Garuda meminjam amerta untuk membebaskan ibunya dan dengan syarat Garuda juga harus mau menjadi tungganggannya. Garuda menyetujuinya. Sejak saat itu pula Garuda menjadi tunggangan Bathara Wisnu seperti nampak pada patung-patung Wisnu yang umumnya duduk di atas Garuda. Garuda turun kembali ke bumi dengan amerta. (relief kedua).
Dengan bekal air suci amerta inilah akhirnya Garuda dapat membebaskan ibunya dari perbudakan atas Kadru. Hal ini digambarkan pada relief ketiga dimana Garuda dengan gagah perkasa menggendong ibunya dan bebas dari perbudakan. (relief ketiga)

Ruwatan

Berbeda dengan candi-candi Jawa Tengah, candi Jawa Timuran berfungsi sebagai tempat pen-dharma-an (kuburan) raja, sedangkan candi-candi Jawa Tengah dibangun untuk memuliakan agama yang dianut raja beserta masyarakatnya. Seperti dijelaskan dalam kitab Negarakretagama bahwa raja Wisnuwardhana didharmakan di candi Jago, Kertanegara di candi Jawi dan Singosari, Hayam Wuruk di candi Ngetos, dsb.
Dalam filosofi Jawa asli, candi juga berfungsi sebagai tempat ruwatan raja yang telah meninggal supaya kembali suci dan dapat menitis kembali menjadi dewa. Ide ini berkaitan erat dengan konsep Dewaraja yang berkembang kuat di Jawa saat itu. Dan untuk menguatkan prinsip ruwatan tersebut sering dipahatkan relief-relief cerita moral dan legenda pada kaki candi, seperti pada candi Jago, Surowono, Tigowangi, Jawi, dan lain lain. Berkaitan dengan prinsip tersebut, dan sesuai dengan kitab Negarakretagama, maka candi Kidal merupakan tempat diruwatnya raja Anusapati dan dimuliakan sebagai Siwa. Sebuah patung Siwa yang indah dan sekarang masih tersimpan di museum Leiden - Belanda diduga kuat berasal dari candi Kidal. Sebuah pertanyaan, mengapa dipahatkan relief Garudeya? Apa hubungannya dengan Anusapati?.
Kemungkinan besar sebelum meninggal, Anusapati berpesan kepada keluarganya agar kelak candi yang didirikan untuknya supaya dibuatkan relief Garudeya. Dia sengaja berpesan demikian karena bertujuan meruwat ibunya, Kendedes, yang sangat dicintainya, namun selalu menderita selama hidupnya dan belum sepenuhnya menjadi wanita utama.
Dalam prasati Mula Malurung, dikisahkan bahwa Kendedes adalah putri Mpu Purwa dari pedepokan di daerah Kepanjen – Malang yang cantik jelita tiada tara. Kecantikan Ken Dedes begitu tersohor hingga akuwu Tunggul Ametung, terpaksa menggunakan kekerasan untuk dapat menjadikan dia sebagai istrinya prameswari. Setelah menjadi istri Tunggul Ametung, ternyata Ken Dedes juga menjadi penyebab kematian suaminya yang sekaligus ayah Anusapati karena dibunuh oleh Ken Arok, ayah tirinya.
Hal ini terjadi karena Ken Arok, yang secara tak sengaja ditaman Boboji kerajaan Tumapel melihat mengeluarkan sinar kemilau keluar dari aurat Kendedes. Setelah diberitahu oleh pendeta Lohgawe, bahwa wanita mana saja yang mengeluarkan sinar demikian adalah wanita ardanareswari, yakni wanita yang mampu melahirkan raja-raja besar di Jawa. Sesuai dengan ambisi Ken Arok maka diapun membunuh Tunggul Ametung serta memaksa kawin dengan Kendedes. Sementara itu setelah mengawini Kendedes, Ken Arok masih juga mengawini Ken Umang dan menurut cerita tutur Ken Arok lebih menyayangi istri keduanya daripada Ken Dedes; Sehingga Ken Dedes diabaikan.
Berlandaskan uraian di atas, maka pemberian relief Garudeya pada candi Kidal oleh Anusapati bertujuan untuk meruwat ibunya Ken Dedes yang cantik jelita namun nestapa hidupnya. Anusapati sangat berbakti dan mencintai ibunya. Dia ingin ibunya menjadi suci kembali sebagai wanita sempurna lepas dari penderitaan dan nestapa.

CANDI SUMBERAWAN

Terletak sekitar 6 km ke arah barat laut dari Candi Singosari, perjalanan menuju Candi Sumberawan dihiasi dengan kehidupan masyarakat desa dengan latar pegunungan. Di tepian jalan yang kecil, bergelombang, dan berbatu, sesekali tampak petani tengah berjalan memikul pacul tanpa alas kaki. Senyum pun kerap kali dilontarkan. Perjalanan menuju candi ini memang agak sulit. Selain harus berhati-hati dalam berkendara, petunjuk jalan dan arah yang kurang detil memaksa pengunjung mau tak mau untuk berhenti sejenak dan bertanya arah kepada penduduk lokal.
Setelah bertanya arah beberapa kali, kami sampai di kawasan serupa tempat pemandian umum terbuka di mana beberapa anak terlihat sedang mandi, juga perempuan tengah mencuci baju. Tampak di sebelah kanan, sebuah plang sederhana dari kayu menunjukkan jarak 400 meter menuju candi serta bentuk panah mengarah pada jalan setapak di antara pinggiran sawah dan parit berair jernih. Tak yakin dengan arah, seorang ibu dengan seember cucian di atas kepalanya meyakinkan kami bahwa itu adalah jalan menuju candi yang kami maksud. Motor pun kami tuntun sambil kami berjalan pelan.

Hamparan sawah yang baru ditanam serta aliran air yang begitu bening membuat kami terkagum. Setelah menyebrangi jembatan sempit, kami sampai di antara rindang pepohonan. Motor kami parkir di sini. Seorang tukang bakso menjamin aman kendaraan, serta memberitahu posisi candi di balik rindang hijau. Tapi kami tak langsung pergi, melainkan duduk sejenak menikmati pesona dan sejuknya alam sekitar: hamparan sawah, rindangnya pepohonan, serta gemericik mata air pegunungan. Semangkuk bakso mengisi rasa lapar kami. Sesekali terdengar kicau merdu burung dan nyanyian serangga di balik pepohonan.
Melangkah mengikuti jalan setapak di antara pepohonan, akhirnya kami tiba di Candi Sumberawan. Dikelilingi hanya oleh pagar kawat dengan papan pengumuman yang telah berlumut dan informasi seadanya, tampak sebuah bangunan berbatu andesit, begitu menonjol dan menarik pandangan kami
  • Sebuah Stupa Misterius
Tak banyak paparan bisa kita temukan mengenai candi yang berlokasi di sebuah telaga kaki Gunung Arjuna (650 DPL), Desa Toyonarto, Kab. Malang ini. Candi Sumberawan pertama kali ditemukan kembali pada tahun 1845 oleh Belanda. Tahun 1937, pemugaran dilakukan terhadap kaki candi.
Candi Sumberawan merupakan canti tunggal yang hanya terdiri dari kaki, badan, dan kepala yang meruncing ke atas. Pada batur candi terdapat selasar berlapis-lapis dengan kaki berbentuk bujur sangkar. Sedangkan bagian selanjutnya, adalah lapis berbentuk segi delapan yang menopang genta. Perpaduan geometris yang menggabungkan bentuk persegi dan lingkaran yang diciptakan, sungguh menjadi kombinasi yang unik dan cerdas. Ujung atas candi sengaja dibiarkan kosong karena bagian tersebut masih belum ditemukan. Tidak ada tangga atau relief apapun yang mengarah pada patung dewa, benda, maupun sosok suci, sehingga mengindikasikan Candi Sumberawan sebagai sebuah wujud stupa utuh. Diduga, bentuk Candi Sumberawan mirip dengan stupa induk di tingkat Arupadhatu di puncak Candi Borobudur, yang melambangkan pencapaian menuju Nirwana. Candi dengan bentuk stupa biasanya dibangun sebagai bentuk Buddha dengan fungsi untuk menyimpan relik Sang Buddha atau ziarah. Bentuk stupa dapat pula diasosiasikan dengan gunung yang menjadi makna dari sebuah kebesaran dan keagungan: Sang Maha Pencipta.
  • Sumber Kedamaian dan Keselarasan Alam
Candi Sumberawan merupakan satu-satunya stupa dengan ukuran terbesar yang ditemukan di Jawa Timur. Candi ini memberi indikasi mulai menyebarnya Buddha di Singosari. Diprediksi, Candi Sumberawan dibangun sekitar abad ke-14 hingga 15 Masehi pada masa Majapahit. Menurut sejarah, Raja Hayam Wuruk sempat berkunjung di tahun 1359 M. Pada Kitab Negarakertagama, kawasan di mana Candi Sumberawan berada, dinamai Kasurangganan yang berarti taman yang dipenuhi oleh bidadari/malaikat (Garden of Angels). Sebutan tersebut tidaklah berlebihan mengingat letak candi yang dikelilingi oleh hutan dan berada tepat di sebuah telaga yang airnya langsung bersumber dari mata air pegunungan di mana nyanyian kodok hampir tak pernah berhenti. Tidak hanya indah dilihat mata, tetapi juga memberikan nuansa kedamaian dan ketenangan. Itulah kemudian mengapa candi dinamakan “Sumberawan.”
Masih di area candi, bisa kita temukan dua buah petirtaan. Di sebelah kiri, menuruni beberapa pijakan anak tangga, terdapat sebuah kolam kecil terbuka dengan patung yang mengaliri air. Air yang tidak pernah surut dan begitu jernih serta segar tersebut keluar dari gentong yang dipegang oleh patung Sang Dewi yang telah berlumut. Perlambang kesuburan dan fertilitas alam yang diasosiaskan dengan femininitas perempuan. Di sisi lain, adalah petirtaan dengan pijakan berbentuk segi delapan di mana pijakan yang paling bawah atau terdekat dengan air, memiliki relief kura-kura sebagai binatang air. Pengunjung diperbolehkan untuk mengambil air atau mengguyur badan pada petirtaan dengan izin dari juru kunci candi.
Candi Sumberawan masih dipergunakan oleh kalangan tertentu sebagai tempat yang sakral dan suci. Ini terlihat adanya sesajen bunga dan dupa yang dibakar menghadap candi. Masyarakat lokal juga masih menghormati dan menganggap candi sebagai tempat yang dikeramatkan. Hal tersebut berkaitan dengan peran penting candi yang mengalirkan sumber mata air bersih dan irigasi sawah bagi masyarakat di desa sekitar. Suasana yang damai dan sakral, mengundang banyak orang untuk melakukan ritual atau peribadahan di sekitar candi. Pengelola atau juru kunci mengizinkan pengunjung untuk melakukan semedi atau berdoa sambil menginap di ruangan khusus yang dibangun di dekat Candi Sumberawan. Tentu untuk menginap, dibutuhkan persyaratan khusus dan waktu yang tepat.
Mengunjungi Candi Sumberawan, tidak hanya memberikan sedikit potret mengenai sejarah masa lalu Jawa pada era Hindu-Buddha, melainkan sebuah pengalaman spiritual di mana kedamaian dan keindahan alam merupakan perpaduan yang mengiringi kehidupan fisik dan rohani manusia. Dari telaga mata air pegunungan yang berada di kawasan Candi Sumberawan, ternyata menyimpan siklus yang mengaliri berkah bagi kesuburan sawah-ladang penduduk, serta ketergantungan manusia terhadap kelestarian alam semesta bagi kehidupan.

Tips Perjalanan 

  • Dari Kota Malang, Anda bisa menaiki kendaraan umum ke arah Singosari (sekitar 1,5-2 jam perjalanan) dan turun tepat di gapura bertuliskan Wisata Candi Singosari. Lokasi Candi Sumberawan masih terdapat di kawasan wisata candi serta situs bersejarah lainnya, tepatnya 6 km ke arah barat laut dari Candi Singosari. Jangan segan untuk bertanya pada penduduk sekitar karena penunjuk arah tidak terlalu jelas dan informatif.
  • Karena memiliki banyak candi dan situs bersejarah dengan jarak yang berjauhan, sebaiknya menyewa kendaraan bermotor di Kota Malang untuk mempermudah penelusuran menuju berbagai situs Kerajaan Singosari. Namun, terdapat banyak ojek yang bisa disewa untuk pulang-pergi. Sebaiknya tawarkan harga untuk berkeliling ke lokasi lebih dari satu candi dan situs lainnya dengan harga sekitar Rp 50 ribu untuk sewa sekitar setengah hari.
  • Biasanya, tarif kunjungan dikenakan biaya sebesar Rp 2.000, tapi sebaiknya berikanlah donasi lebih kepada penjaga atau juru kunci candi karena mereka dibayar dengan sangat rendah, bahkan secara sukarela. Rumah makan hanya banyak ditemukan di sekitar Candi Singosari, dengan variasi bakso dan hidangan Jawa Timur-an.

CANDI JAGO


Foto: https://www.instagram.com/p/BFRWRMaHxnl

Candi Jago di Malang - merupakan candi yang berdiri sejak abad XIII pada masa kerajaan Singhasari (Singosari). Nama Candi Jago ini berasal dari kata Jajaghu. Letak Candi Jago adalah pada Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, yang bisa dtempuh sejauh 22 km ke arah timur dari kota Malang. Penduduk setempat sering menyebut Candi Jago sebagai Cungkup, ada juga yang menyebutnya sebagai Candi Tumpang.

Kali ini nnoart.com akan mengulas mengenai Candi Jago, yang merupakan salah satu peninggalan sejarah di Malang yang juga saat ini berfungsi juga sebagai salah satu objek wisata sejarah di Malang. Informasi yang diberikan dalam tulisan ini sebagian besar disadur dari Wikipedia serta beberapa lainnya dengan mengamati langsung di lapangan serta bertanya pada pengelola setempat.


Letak Candi Jago


Sebelum mempelajari banyak hal mengenai Candi Jago, ada baiknya untuk mengetahui terlebih dahulu lokasi tepat dari candi ini. Mungkin ada diantara pembaca yang lebih tertarik untuk menggali informasi lebih detailnya secara langsung di lapangan atau hanya sekedar untuk jalan-jalan saja.

Bagi pembaca yang ingin mengunjungi Candi Jago, dapat langsung melihat Google Maps di atas, yang menunjukan langsung lokasi dari candi ini di dusun Jago, Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Koordinatnya adalah pada 8°0′20,81″LU 112°45′50,82″BT atau bisa langsung klik pada "view larger map" pada Google Map di atas untuk menuju halaman peta yang lebih besar.

Cara Menuju Candi Jago

Jika dari kota Malang, berkendaralah sejauh kurang lebih 22 km ke arah timur, melalui Madyopuro – Cemorokandang – kecamatan Pakis – Tumpang atau bisa dengan mengikuti jalan Laksda Adisucipto (jalan menuju bandara), terus melewati Pakis hingga masuk Tumpang. Ikuti terus jalan utama hingga tiba di Pasar Tumpang yang berada di pusat kecamatan Tumpang. Candi Jago terletak kurang lebih 500 meter dari Pasar Tumpang. Oh iya, bagi yang ingin naik angkutan umum bisa ke Terminal Arjosari dan naik angkutan umum Malang – Tumpang hingga tiba di Pasar Tumpang. Anda bisa naik ojek dari sini atau berjalan kaki kurang lebih 10 menit.

Candi Jago berada diantara permukiman warga, tepat berada di depan SD Negeri Tumpang 02 di Jalan Wisnuwardhana. Pengelola candi menggunakan pagar kawat berduri untuk membatasi antara candi dengan permukiman warga. 

Sejarah Candi Jago

Foto: https://www.instagram.com/p/BFRWRMaHxnl
Nama sebenarnya dari candi ini adalah Jajaghu (menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton). Jajaghu merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut suatu tempat suci. Jajaghu sendiri artinya ‘keagungan’, yang seiring berjalannya waktu sekarang hanya disebut sebagai candi Jago, walaupun terkadang ada yang menyebutnya sebagai Candi Tumpang karena lokasinya atau warga setempat lebih sering menyebutnya Cungkup.

Candi Jago didirikan pada abad XIII tepatnya pada masa kejayaan Kerajaan Singhasari. Pada awal mula didirikan oleh Raja Kertanegara, Candi Jago dijadikan sebagai makam raja kerajaan Singhasari yang keempat yaitu Wishnuwardhana yang juga merupakan ayah dari Raja Kertanegara. Raja Wishnuwardhana sendri wafat pada tahun 1268 M. Candi tambahan didirikan dan ditambahkan Arca Manjusri oleh Adityawarman (sekarang tersimpan di Museum Nasional bernomor inventaris D. 214).

Raja Kerajaan Singasari waktu itu, Wisnuwardhana, merupakan penganut agawa Syiwa Buddha yang merupakan aliran keagamaan perpaduan Hindhu Buddha (informasi dalam Pupuh 41 Gatra ke-4 Negarakertagama). Selama masa pemerintahan kerajaan Singasari, kerajaan yang terletak kurang lebih 20 kilometer dari Candi Jago, aliran Syiwa Buddha ini terus berkembang.

Hasil gambar untuk CANDI jago
Pembangunan Candi Jago dalam kitab Negarakertagama serta Pararaton berlangsung selama 12 tahun yaitu pada 1268 M – 1280 M. Walaupun Candi Jago lebih identik dengan kerajaan Singosari, namun disebut juga dalam Negarakertagama serta Pararaton bahwa Raja dari Kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk, sering mengunjungi candi ini sepanjang tahun 1359 M. Hubungan antara Candi Jago dengan Kerajaan Singhasari bisa juga dilihat dari pahatan teratai (padma) yang menghiasi tatakan arca-arcanya, dimana terlihat menjulur keatas dari bonggolnya. Motif teratai ini merupakan motif teratai populer pada masa Kerajaan Singasari. Dalam sejarah Candi, perlu dicermati juga kebiasaan raja-raja zaman dulu yang biasanya memugar candi-candi yang dibangun oleh raja-raja sebelumnya. Ada dugaan bahwa Raja Adityawarman dari Melayu, yang masih memiliki hubungan darah dengan Hayam Wuruk, pernah memugar Candi Jago pada tahun 1343 M.

CANDI BADUT



Candi Badut berlokasi di Jawa
Candi Badut
Lokasi di Pulau Jawa
Informasi umum
Gaya arsitektur Candi peralihan
Kota Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Negara Indonesia
Koordinat 7,957778°LS 112,598333°BT
Selesai 760
Detail teknis
Ukuran 17,27 m x 14,04 m

 Hasil gambar untuk candi badut
Candi Badut adalah sebuah candi yang terletak di kawasan Tidar, di bagian barat kota Malang. Secara administratif candi badut terletak di Kelurahan Karang Besuki, Kecamatan Sukun, Kota Malang, Jawa Timur. Lokasi candi ini berada di dekat Universitas Ma Chung, sekitar 15 menit berjalan kaki dari sana ke arah Timur. Lokasi ini juga dapat ditempuh dengan kendaraan umum jurusan Tidar arah menuju Institut Teknologi Nasional. Lokasi tersebut dapat dilihat di [1].
Kata Badut diduga berasal dari bahasa Sanskerta Bha-dyut yang berarti sorot Bintang Canopus atau Sorot Agastya.

Usia

Candi ini diperkirakan berusia lebih dari 1400 tahun, merupakan yang tertua di Jawa Timur dan diyakini adalah peninggalan Prabu Gajayana, penguasa kerajaan Kanjuruhan sebagaimana yang termaktub dalam prasasti Dinoyo bertahun 760 Masehi. Candi Badut ini meninggalkan jejak purbakala sebagai peninggalan sejarah yang perlu di jaga dan dilestarikan keadaannya.

Bangunan

Para ahli menyatakan bahwa Candi Badut merupakan peralihan gaya bangunan Klasik dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Pada ruangan induk candi yang berisi lingga dan yoni, simbol Siwa dan Parwati. Sebagaimana umumnya percandian Hindu di Jawa, pada bagian dinding luar terdapat relung-relung yang semestinya berisi arca. Dua relung di kanan dan kiri pintu mestinya berisi arca Mahakala dan Nandiswara, relung utara untuk arca Durga Mahisasuramardini, relung timur untuk arca Ganesha, dan di sisi selatan terdapat relung untuk arca Agastya yakni Siwa sebagai Mahaguru. Namun di antara semua arca itu hanya arca Durga Mahisasuramardini yang tersisa di Candi Badut.

Penemuan

Candi ini ditemukan pada tahun 1921 berupa gundukan bukit batu, reruntuhan dan tanah. Orang pertama yang memberitakan keberadaan Candi Badut adalah Maureen Brecher, seorang kontrolir bangsa Belanda yang bekerja di Malang. Candi Badut dipugar kembali pada tahun 1925-1927 di bawah pengawasan B. De Haan dari Jawatan Purbakala Hindia Belanda. Dari hasil penggalian yang dilakukan pada saat itu diketahui bahwa bangunan candi telah runtuh sama sekali, kecuali bagian kaki yang masih dapat dilihat susunannya.

CANDI BOCOK

 Hasil gambar untuk candi bocok



Kawasan Malang Barat rupanya juga menyimpan peninggalan sejarah. Salah satunya adalah Candi Bocok yang terletak di Dusun Bocok, Desa Pondokagung, Kasembon.
Keberadaan Candi ini tidak banyak dikenal oleh masyarakat luas. Salah satu sebabnya adalah Candi ini tidak tercantum dalam situs resmi Kabupaten Malang, dan juga catatan perjalanan wisata Malang Raya. Keadaan yang miris meskipun sebenarnya Candi ini letaknya cukup mudah digapai.
Dari jalan bisa Malang-Kediri, anda bisa belok kiri atau ke Selatan dari pertigaan Pom Bensin Kasembon, kemudian ke arah selatan menuju PLTA Siman dan PLTA Mandalan. Dari PLTA akan menemui Kasembon Rafting, obyek wisata alam arung jeram. Tetapi perjalanan anda masih terus hingga akhirnya ke Dusun Bacok. Dari Kantor Desa Pondokagung ada jalan persimpangan ke arah timur dan di sana akan ada Candi Bocok. Letaknya cukup mudah dan jika ragu tersesat lebih baik tanya kepada masyarakat sekitar.
 Hasil gambar untuk candi bocok
Dari koran Malang Post, dikatakan jika Candi Bocok adalah candi yang sangat penting keberadaanya, karena di sana terdapat Arca Siwa, sebuah Arca yang kini posisinya disimpan oleh Muljianto, juru kunci Candi. Disimpannya Arca di rumah Muljianto disebabkan karena jika ditaruh di luar akan mengundang pencuri untuk mengambilnya, dan itu dibuktikan dengan beberapa kali kejadian.
Arca pernah dicuri pada tahun 1973, pelakunya dua orang dan akhirnya arca ditemukan di Surabaya. Di tahun 1986, Muljianto juga sempat didatangi oleh orang Bali, mereka memberikan tawaran berupa mobil, sepeda motor dan uang tunai Rp60 juta rupiah, jumlah yang sedemikian besar di masa itu tidak membuat sang juru kunci tergoda. Di tahun 2001, ada lagi penawar yang datang dengan membawa ganti patung serupa yang mirip aslinya, namun tetap tidak membuat Muljianto bergoyang. Penolakan-penolakan itulah yang akhirnya mengundang pencuri untuk datang sehingga arca kini diletakkan di dalam rumah. Apalagi konon dari sindikat yang ada pernah melakukan tawaran hingga milyaran kepada barang siapa yang bisa mencurinya.
Menurut Arkeolog Dwi Cahyono, Arca Siwa di Candi Bocok sangat istimewa karena merupakan peninggalan Hayam Wuruk dan dibuat dengan sangat detail. Selain Candi Bocok ada Candi Sapto yang berada di sana, sementara di daerah sekitar yang sudah masuk wilayah Kediri ada beberapa prasasti.
Diperkirakan Arca Siwa yang ada di Candi adalah Arca Dewaraja. Artinya, Raja Majapahit yang diarcakan dengan dewa yang dia puja selama hidup. Ketika hidup memuja Siwa, maka Ista Dewata-nya adalah diarcakan sebagai Siwa. Biasanya diarakan bersama Sakti-nya (Istri) yakni Parwati. Dewaraja sendiri merupakan konsep pemujaan yang menganggap Raja memiliki sifat dewa.
Tentang keberadaan Candi, dalam arsip Belanda yang berjudul Hindoe Javanche Kunst tahun 1923, dikatakan jika Candi Botjok pernah diteliti pada tahun 1902. NJ Kroom salah satu Arkeolog Belanda menyebut jika Candi tersebut berdiri pada 1358 Saka atau 1436 Masehi.

CANDI SINGOSARI

  Candi Singhasari atau Candi Singasari atau Candi Singosari adalah candi Hindu - Buddha peninggalan bersejarah Kerajaan Singhasar...